
Jakarta, petroenergy.id – Stephen Salomo, Analyst E&P Research Southeast Asia, mengatakan, pengembangan deep water development cost turun secara global, termasuk di Indonesia.
Development cost dunia ini, kata dia tentu saja ada efeknya dengan berkembangnya proyek deepwater di Indonesia, yang dikenal dengan proyek IDD, misalnya Northern Hub dan Southern Hub IDD yang dikembangkan oleh ENI Indonesia.
Dalam sebuah diskusi yang diprakarsai oleh SKK Migas itu, Stephen Salomo lebih jauh menambahkan, yang selalu menjadi pertanyaan investor seberapa kompetitifkah Indonesia.
“Apa yang membuat IDD Project yang sangat visible sampai sekarang. One is different operatorship.Kedua facility. Ketiga support dari SKK Migas,” katanya.
Sebelum ENI mengambil alih dari Chevron, apakah ENI sudah mengerti portfolio Kutei Basin, ujar Stephen dalam nada tanya.
“Hundred percent ada di Jangkrik FPU dan Merakes.Kemudian setelah itu ENI take deepwater project. This way time to FID dari Southern Hub , kalau kita lihat planningnya tight back dengan FPU nya,” tandasnya.
Ketika menjawab pertanyaan wartawan, apakah strategi ini mirip dengan negara-negara lain tentang deepwater project? “Dari sisi investor adalah melihat apa yang sudah dilakukan investor lain sejenis dalam pengembangan deepwater,” jawab Stephen.
Menurutnya, semua operator dunia, international companies mereka push tentang deepwater project. Mereka harus make sure project harus go online. Kondisinya lagi ideal, they have cost advantage dan resourcesnya besar.
“Kalau kita lihat dari sisi global, pertama teknologinya sudah berkembang, dulu development cost untuk deep water mungkin secara global itu bisa sampai US$14 per barel oil equivalent (BOE). Sekarang dengan teknologi di Guyana, Suriname, bahkan di Indonesia, kita bisa mencapai rata-rata disekitar US$8 per BOE. Soalnya dalam waktu kurang lebih dari 10 tahun, perbedaannya jadi signifikan,” pungkasnya. (mk)